10 Fenomena Pendidikan Kita
DAPODIK.co.id - Catat, 10 Fenomena Pendidikan Kita. Masalah pendidikan dewasa ini semakin menjadi perhatian. Tidak mengherankan mengingat pendidikan adalah milik dan tanggung jawab masyarakat. Kedudukan pendidikan sangat strategis menuju arah tercapainya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Berbagai upaya dihimpun dan dikerahkan untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan, terutama pendidikan formal di sekolah-sekolah. Peningkatan sumber daya manusia artinya usaha untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, cerdas, tangguh, kreatif, terampil dan beretos kerja sebagaimana diamanatkan GBHN ( GBHN 1998 ).
Jika
tujuan tersebut tercapai sepenuhnya patut mendapat acungan jempol. Tetapi
tidak semudah apa yang dikatakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini
tidak dapat dicapai dengan membaca sim salabim ala kedabra akan tetapi
harus diupayakan sedemikian rupa menyangkut kepedulian masyarakat dan
perhatian penuh pemerintah, tenaga kependidikan serta kesanggupan para peserta
didik itu sendiri.
Catat,
10 Fenomena Pendidikan Kita
Pertanyaan
pun muncul, mengapa usaha peningkatan sumber daya manusia belum dapat segera
terwujud ? Jawabnya cukup kompleks. Artinya banyak hal yang mempengaruhi
sekaligus menjadi kendala bagi tercapainya peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM). Kendala yang dimaksud adalah adanya kondisi yang sangat ironis
bahkan bertolak belakang dalam dunia pendidikan kita. Kondisi yang
bertolak belakang tersebut artinya ketidak seimbangan antara harapan dan
kenyataan. Harapan dari produk pendidikan sangatlah mutlak dan ideal akan
tetapi kenyataan proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta daya dukung
masyarakat belum dapat dikatakan seimbang.
1.
Sistem Pendidikan
Peningkatan
kualitas SDM seperti yang termaktup dalam GBHN sangat ideal yang masih sulit
dicapai dengan sistem pendidikan kita sekarang ini. Dapat kita lihat sejauh
mana pendidikan di sekolah (SMP misalnya) berupaya membentuk peserta didiknya
menyandang sifat yang memuaskan seperti disebutkan dalam tujuan pendidikan
nasional di GBHN itu?
Kalau kita
cermati sistem pendidikan kita terbentur dalam ketidaksinkronan yang ada.
Idealisme tujuan pendidikan memang tinggi sementara sistem pendidikan belum
mendukung terbentuknya manusia berkualitas karena banyak dijumpai fenomena di
lapangan. Contohnya fenomena penyeragaman menjadi ciri khas sistem pendidikan
kita. Peserta didik selalu dihadapkan berbagai keseragaman baik duduknya,
pakaiannya, cara mengerjakan soal, cara berpikir, bertanya, buku maupun
kurikulumnya. Di satu sisi memudahkan pengaturan peserta didik dan mengekang
emosionalnya akan tetapi di lain pihak memenggal kebebasan peserta didik termasuk
kognitifnya. Betapa tidak ! Peserta didik mau muncul, dikekang kurikulum. Mau
lari dikekang penjadwalan dan mau tidur dikekang etika. Bukankah hal ini
berarti mengebiri kreativitas peserta didik? Tidaklah sekolah malah menjadi
pabrik pencetak manusia penurut ? Bukan lagi kreativitas yang diperoleh tetapi
kebebasan berpikir terbelenggu dengan model-model hafalan pada kegiatan belajar
mengajar dan evaluasinya.
Fenomena lain
adanya penjejalan bahan pelajaran pada peserta didik. Untuk mengantisipasi hal
itu peserta didik masih harus mengikuti bimbingan tes atau les privat untuk
mendukung pemahaman terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya.
2.
Ketidaksesuaian Latar
Belakang Pendidikan Dengan Lapangan Pekerjaan
Fakta memaksa
harus puas lulusan SMA bekerja di pabrik gilingan batu, lulusan sarjana
filsafat bekerja sebagai satpam di hotel-hotel. Kita dapat angkat bicara
seolah-olah tidak ada fungsinya hafalan-hafalan mata pelajaran dengan pekerjaan
di tempat kerjanya. Di lingkungan PNS pun banyak ditemui fenomena yang sama.
Seorang insinyur bekerja di Depdiknas bagian anggaran.
3.
Depopulasi Guru Idola
Pada mulanya,
profesi guru diidentikkan dengan seorang guru di dalam dunia pewayangan yang
segenap sifatnya menunjukkan kearifan , kesabaran, keteladanan, dan serba tahu.
Pendek kata guru adalah sosok manusia yang bisa di gugu dan ditiru dalam segala
hal. Namun bagaimana kenyataannya? Masih ada satu, dua atau lebih guru belum
bisa memeuhi panggilan seorang guru dengan serentetan keterbatasan dan
kekurangdisiplinannya. Misalnya masuk kelas mesti terlambat, keluar kelas
mendahului bel dan sering menunda jawaban ketika ada peserta didik bertanya.
Banyak lagi hal yang menurunkan citra seorang guru. Bukankah erat sekali
hubungannya antara sikap guru, mata pelajaran , dan sikap tanggapan dari peserta
didik?
4.
Guru Dan Gajinya
Tidak masalah
guru diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa asal jangan diselewengkan menjadi
pahlawan tanpa jasa. Tugas guru sangatlah berat karena harus menyelamatkan
generasi masa depan dari kebutaan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewarnai
keadaan bangsa yang akan datang. Namun adanya ketidaksesuaian terpaksa harus
diungkapkan. Gaji guru tidak membuat silau si tukang batu, pelayan toko
tersenyum sinis memegang kumis melihat guru menunduk menangis. Padahal
tugas dan tanggung jawab seorang guru tidak sama dengan seorang tukang batu
.
Guru membutuhkan
buku bacaan seperti koran dan televisi sebagai media informasi, sementara anak
dan istri berdiri di rumah menanti datangnya gaji. Haruskah seorang guru nyambi
pekerjaan lain seperti ngojek untuk menopang ekonomi ? Padahal kewibawaan guru
harus dimiliki dan sangat erat hubungannya dengan pemilikan materi. Jika
demikian adanya nyaris eksistensi guru sebagai ujung tombak pendidikan menjadi
tumpul dan bukan tidak mungkin jika nantinya terbentuk generasi yang tumpul
juga. Bukankah hal ini tidak kita inginkan ?
5.
Kelima, Orang Tua Peserta
Didik Dan Masyarakat
Orang tua peserta
didik selalu menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna di kelak kemudian
hari. Syarat pokoknya diawali dengan melek huruf, melek angka, melek alam
sekitar dan melek kawruh. Untuk itu anaknya disekolahkan secara formal agar
menjadi anak yang berkualitas. Akan tetapi sering harapan itu tidak seimbang.
Pasalnya
orang tua sibuk dengan rutinitas tugas kesehariannya, pergi pagi pulang malam
tanpa ada waktu senggang. Kapankah orang tua harus mengontrol, mengawasi dan
mendidik putra putrinya? Ini dialami orang tua sibuk berstatus tinggi di kota.
Masyarakat
selalu menyorot guru sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam dunia
pendidikan. Guru diharapkan menyandang sifat-sifat yang semuanya merupakan ciri
manusia yang handal kualitasnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa
guru yang berkualitas diharapkan dapat membentuk peserta didik yang juga
berkualitas. Tetapi harus kita ingat guru berasal dari LPTK semacam IKIP, SPG,
SGO dan PGSD. Kalau mau mendata siapa orang - orang yang masuk ke LPTK tersebut
? Pada umumnya LPTK adalah pilihan terakhir, itupun mukanya cemberut merasa
dirinya tersisih dan merupakan sisa sortiran universitas.
Masyarakat
tampaknya sudah mempunyai satu pandang melarang anaknya masuk IKIP lebih-lebih
anak yang prestasinya baik. Bukankah semua ini merupakan suatu ketidak sinkronan/ kepincangan? Di satu sisi masyarakat mengharapkan kualitas seorang
guru akan tetapi di sisi lain tidak mendukung pembentukan bibit guru yang
berkualitas. Karena biasanya guru yang berkualitas berasal dari siswa yang juga
berprestasi. Walaupun peserta didik berprestasi bukan jaminan menjadi sosok
yang berkualitas mengingat kriteria kualitas tidak hanya diambil dari prestasi
nilai kognitifnya saja.
6.
Peserta Didik selaku subyek
pendidikan
Kurangnya
minat baca bagi peserta didik mmengawali rendahnya kualitas peserta didik itu
sendiri. Sementara mereka senang membicarakan tokoh-tokoh sukses, orang-orang
tenar, kaya, cendekiawan, insinyur dan lain sebagainya. Disisi lain mereka
masih enggan untuk belajar, membaca dan tak mau melirik perpustakaan. Budaya
ngobrol, nonton TV, nongkrong dan kumpul-kumpul agaknya mengangkangi
proporsi waktu hari-hari yang dilewatinya
7.
Rendahnya Anggaran Sarana
Dan Prasarana Pendidikan
Dalam proses
pembelajaran, pelajaran IPA perlu alat dan bahan untuk praktikum, pelajaran
olah raga perlu alat olahraga, seni tari perlu radio tip dan kasetnya,
perpustakaan butuh kehadiran buku dan petugasnya. Sudahkah semua itu memadai ?
Sudah tepatkah penggunaan anggaran di sekolah masing-masing ? Sudahkah direalisasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebanyak 20 %
dari APBN ?
8.
Bentuk Soal Tes Dan
Evaluasi Dalam Persekolahan Kita
Soal ulangan
harian, ulangan mid semester, ulangan umum dan soal ujian nasional persekolahan
kita selalu menerapkan soal pilihan ganda. Anak tidak pernah bermain bahasa
dengan bahasanya sendiri. Anak hanya disuguhi pilihan yang cara
pengerjaannya pun bisa dilakukan dengan ngawur. Anak selalu bisa mengerjakan
beberapa soal dalam waktu hanya hitungan menit. Semua soal bisa
terselesaikan. Anak hanya berpikir sepotong-sepotong dan tidak berpikir secara
utuh dalam menghadapi setiap butir soal.
9.
Sistem Penilaian Dalam
Persekolahan Kita
Penskoran
dari soal pilihan ganda yang tidak menerapkan sistem denda jelas-jelas
merupakan tindakan ceroboh dalam sistem evaluasi pendidikan. Jawaban yang
salah merupakan cermin pengerjaan ngawur. Mestinya, jawaban yang salah untuk
mendendanya dengan harapan anak nekat menjawab tanpa didasari pemikiran yang
benar. Anak akan takut menjawab ngawur. Contoh, 50 soal pilihan ganda dengan
skor 100 dijawab 30 benar semua maka nilainya 60. Akan tetapi apabila dijawab
semua dan benar 30 maka nilainya 60 – 40 = 20 bukan 60.
10. maraknya
sistem penerimaan kerja melalui jalur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
Anak tidak
termotivasi belajar yang keras karena ada jalan pintas mencari pekerjaan
dengan model kolusi. Apabila sistem ini terus membudaya dalam masyarakat
maka akan menghancurkan tumbuhnya jiwa kemandirian dan mematikan
kreativitas pada generasi masa depan.
Sekarang
lengkap sudah disebutkan, hal-hal yang saling antagonis antara harapan dan
kenyataan, antara idealisme dan pencapaian. Bagaimana mengatasi sederetan
fenomena dan kepincangan yang masih marak di lapangan tersebut. Tidak semudah
yang kita inginkan mengatasi fenomena ynag kompleks itu. Perlu perencanaan yang
matang, upaya yang ekstra keras dan pengawasan yang baik dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar demi keberhasilan terbentuknya sumber daya mnanusia
yang berkualitas.
Dengan
menengok kepincangan yang ada agaknya langkah pertama yang perlu diambil ialah
menempatkan anggaran pendidikan pada posisi optimal. Peningkatan anggaran ini
di gunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru maupun peningktan kualitas
sumber daya manusia. Seperti halnya dosen, peningkatan kualitasnya selalu
dilakukan yang dibiayai oleh negara atau perguruan tinggi yang bersangkutan.
Ironis kiranya jika guru selalu disudutkan mengenai belum bisa dihasilkannya
SDM yang berkualitas dari sistem pendidikan kita ini sedangkan kualitas guru
tidak pernah diupayakan.
Langkah
kedua, memberdayakan masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas SDM. Hendaknya
masyarakat menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan ada di tangan pemerintah,
tenaga kependidikan dan masyarakat. Untuk itu masyarakat jangan membebani
tenaga kependidikan, misalnya orang tua tidak boleh emosi jika mendengar
anaknya dipanggil guru BP, demikian juga melihat nilai rapot anaknya jelek.
Langkah
ketiga menumbuhkembangkan peserta didik untuk lebih meningkatkan semangat
belajar, membaca, terampil, kreatif dan kritis terhadap lingkungan.
Demikian
Artikel Terbaru Tentang Catat,
10 Fenomena Pendidikan Kita. Semoga ada manfaatnya, terima kasih.
Jika
artikel ini kurang jelas dan mungkin masih ada pertanyaan, anda bisa tanyakan
pada kolom komentar yang tersedia di akhir postingan ini. Untuk dapat mengikuti
berita terbaru dan mendapatkan notifikasi silahkan follow
akun www.dapodik.co.id ini. Karena akan menyajikan berita terbaru dan
terpopuler di dunia pendidikan.
Posting Komentar untuk "10 Fenomena Pendidikan Kita"
Gambar ataupun video yang ada di situs ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut.