Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

ISTRI BAYANGAN – CERBEN

 

ISTRI BAYANGAN – CERBEN

 

Aku sangat menghormati ibu. Sangat mencintainya. Tak rela bila ada yang membuatnya kecewa apalagi sakit hati dan sedih. Hal itu juga yang membuatku sering cekcok dengan Weni, istriku. Weni marah bila aku mengajak ibu jalan-jalan, membelikan sesuatu, memberikan perhatian atau memberi uang untuk kebutuhan hidup ibuku. Sering hal itu jadi penyebab masalah rumah tangga kami. Aku tak bisa berbuat banyak ketika akhirnya Weni bersigigih minta cerai ketika aku disuruh memilih dirinya atau ibu.

 

Aku terluka. Rasa kecewa kuperam dan samarkan dengan kerja keras sehingga usaha dagangku makin berkembang. Kupilih tinggal bersama ibu. Aku bertekad mem bahagiakan ibuku. Biarlah semua kekayaan, rumah dan toko, kuserahkan pada Weni dan anak-anak. Aku tak bisa melupakan Weni. Dia terlalu cantik untuk dibandingkan dengan wanita lain, tapi juga tak mungkin menyia-nyiakan ibu yang kusayang.

 

Ah, biarlah takdir bicara. Berharap suatu saat kelak bersatu kembali. Aku membisu dalam rindu. Gadis jelita yang kusunting bagai tiada tanding. Tak tergantikan.

 

"Yanda, kemarilah. Ibu ingin bicara." Sore ini ibu terlihat serius.

 

"Ada apa, kok serius amat, Bu?" Aku mendekat dengan rasa penasaran.

 

"Tak terasa sudah lima tahun kamu memilih hidup begini. Apa recanamu selanjutnya?"

 

Aku tak menduga akan ditanya begini. Ibu sangat bijaksana. Tak pernah membenci siapapun. Apalagi Weni mantan menantunya. Walau telah diperlakukan tak baik sebagai mertua.

 

"Aku hanya ingin mengabdi pada ibu sampai umur memisahkan kita, Bu." Jawabku.

 

"Pikirkan masa depanmu, Nak. Ibu sudah semakin dekat ke pangkuan-Nya. Jangan korbankan dirimu untuk ibu." Ibu mengusap rambutku seakan aku masih balitanya.

 

"Bila kamu ingin kembali bersatu dengan mantan istri dan anak-anakmu, bujuklah Weni." Mata ibu berkaca-kaca.

 

"Tidak, Bu." Jawabku singkat.


"Ibukah yang harus mencarikanmu pendamping?"

 

"Kalau hal itu membuat ibu bahagia dan senang, aku nurut saja." Waduh! Aku jadi

heran, mengapa bisa keceplosan begini. Tak sesuai pinta hati.

Esok hari, calon pilihan ibu membuat lidahku kelu. Aku tak percaya dengan penglihatanku. Benar-benar di luar dugaan. Seorang wanita yang mungkin seusiaku. Berkulit gelap. Pendek. Wajahnya? Duuuh....hancur!

 

Demi ibu. Ya, demi ibu. Aku terpaksa pura-pura senang dan setuju. Ini bentuk pengabdianku, Bu. Apa boleh buat. Tanpa ada yang memaksa kujalani semua proses dengan rasa terpaksa. Jadilah dia istriku. Akan tidur di sampingku. Hiii....!

 

Dalam hati aku berkata, "Kau hanya akan jadi istri bayangan, tanpa ibu perlu tahu."

Bangun di subuh ini, tubuhku pegal karena meringkuk di sofa. Semalam aku cuma berbekal bantal dan jaket, ternyata ada selimut melindungiku dari dingin pagi. Diakah yang menyelimutiku? Persetan, ah! Semalam aku pilih tidur di sofa sudut kamar.

 

"Mandilah, Uda. Air hangatnya sudah kusiapkan. Lumayan untuk mengimbangi dingin pagi." Wanita ini seperti tak sakit hati dengan sikapku.

Aku melangkah ke kamar mandi. Wow, aku seakan jadi balita lagi. Semua disiapkan. Keluar dari kamar mandi, dia telah menyiapkan semua perlengkapan dan pakaianku untuk pergi kerja. Tahu dari mana semua kesukaanku, ya?

 

Dengan cekatan dia menyiapkan sarapan pagiku dan ibu. Enak juga nasi gorengnya. Lumayan. Aku kurang suka dia mengantarku ke pintu. Kurang sebanding. Apalagi disejajarkan dengan Weni yang cantik, putih, semampai dan modis.

 

Kebiasaanku, siang selalu menemani ibu sebentar baru dilanjutkan dengan makan di resto favoritku. Ada hidangan di meja. Baunya itu! Menggugah rasa ingin tahu dan selera. Walau tak berniat makan, kusempatkan juga melihat hidangan itu. Ada kalio ayam, goreng belut cabe hijau, dan sayur bayam. Semua kesukaanku.

 

"Makanlah, Da." Wanita jelek itu bergegas menyiapkan piring untukku.

 

"Terima kasih. Aku sudah makan." Jawabku dingin sambil menuju pintu keluar.

Kusengaja pulang malam, agar tak lama waktuku melihat muka wanita asing itu. Raut wajah kacau itu. Melewati ruang makan, kembali hidungku disapa aroma sedap di meja makan. Hm, ada asam padeh ikan, samba lado teri, sayur buncis pakai santan. Boleh juga nih, perempuan! Merangsang rasa lapar tapi aku cuek saja. Tak kusentuh.

 

"Uda saja yang tidur di kasur. Biarlah aku di sofa. Agar Uda bisa tidur dengan nyaman pulang kerja." Suara perempuan ini seperti tak sedikitpun kecewa dengan sikapku.


Berbulan-bulan keadaan ini berlangsung tanpa setahu ibu. Beliau terlihat bahagia karena aku sudah beristri.

 

Bangun tidur pagi ini, aku pusing dan muntah tanpa sempat ke kamar mandi. Dengan cepat dia membersihkan semuanya tanpa jijik. Kucoba berdiri, seisi kamar serasa berputar. Ada kekuatan yang menyanggahku sehingga tak sampai jatuh. Lalu gelap dan hening.

 

Berat sekali mataku untuk dibuka. Samar kusadari ini kamar yang beda. Rumah sakit. Ada suara merdu dan indah membaca ayat suci.

 

"Syukurlah Anda sudah siuman.Anda beruntung sekali mempunyai istri yang sholeh. Tiap saat berdoa untuk Anda. Suaranya membaca kitab suci, memukau orang-orang di sini. Kami semua kagum dengan telatennya merawat Anda. Dia tak mengizinkan perawat mengurus Anda. Selain urusan medis, dia ambil alih tugas kami dengan penuh kasih seorang istri. Anda suami yang sangat beruntung. Anda pasti bahagia." Dokter bercerita panjang lebar sambil memandang pada sosok bermukena yang duduk di sajadah.

 

Aku tersenyum dengan mata basah, dengan rasa bersalah, diiringi syahdu suaranya membelai jiwa.

 

Oleh : Zuldefita Zoebir


Posting Komentar untuk "ISTRI BAYANGAN – CERBEN"